Sunday, June 29, 2014

Groups Urge Any New Government of Indonesia to Pursue Justice and Respect Rights

ETAN issued the following:


Media Release
Contact (English): John M. Miller, ETAN, +1-917-690-4391, john@etan.org
Contact (Bahasa Indonesia): Andrew de Sousa, +66-904241290,  a.desousa@focusweb.org

Groups Urge Any New Government of Indonesia to Pursue Justice and Respect Rights

June 30
- In a statement released today human rights groups urged the next government of Indonesia "to break with the past [and] fully and meaningfully address the legacy of impunity for past human rights violations," adding that "the continued lack of accountability for past and ongoing violations of human rights threatens lasting progress."

The statement, coordinated by the East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and signed by 32 organizations based in a dozen countries, urged the Indonesia government to "provide meaningful reparations for the victims, survivors and their families of egregious human rights crimes." It also called on the next government to bring the military "fully under civilian control and the rule of law."

The groups wrote that "Indonesian security forces operate with near impunity in the provinces of West Papua and Papua," and called for the release of political prisoners, respect for freedom of expression, and ending restrictions on international access to the region.

The groups also urged the new government to build "genuine relationships between peoples" of Indonesia and Timor-Leste by committing to "an international tribunal to prosecute crimes against humanity and war crimes committed during the occupation, the opening of all relevant historical archives, including those of the TNI, and reparations for victims of Indonesia's security forces.

"We are well aware that one presidential contender is an admitted and serial human rights violator and that the other has a former general indicted for crimes against humanity in Timor-Leste on his campaign team," said John M. Miller, coordinator of ETAN.

"However, Indonesia's new parliament and whoever becomes president have obligations under Indonesian law and international treaties. Our statement provides some measures with which to evaluate the new government's actions on human rights."

BACKGROUND
In April, Indonesians elected a new parliament that will be sworn in October 1. On July 9, they will vote on a new President who will take office October 20. Aspects of one candidate's human rights record have been the subject of debate during the presidential campaign.

Former general Prabowo Subianto has been implicated in a series of human rights violations in Timor-Leste, Jakarta and elsewhere during his military career. He has confessed to kidnapping activists and planning a coup in May 1998. Recently, journalist Allan Nairn reported that Prabowo had called "Indonesia is not ready for democracy," and while praising the military dictatorship of Pakistan's General Pervez Musharraf, Prabowo asked "Do I have the guts, am I ready to be called a fascist dictator?" Referring to the 1991 Santa Cruz massacre in Timor-Leste, Prabowo said that "You don't massacre civilians in front of the world press," saying that "Maybe commanders do it in villages where no one will ever know."

His opponent Jakarta Governor Joko Widodo is younger and has never served in the military, but among his campaign team are several former generals accused of serious violations of human rights.  General Wiranto was indicted in Timor-Leste for his role in the violence surrounding its independence ballot. General AM Hendropriyono has been implicated in a 1989 massacre of civilians Central Lampung, the assassination of human rights lawyer Munir while head of Indonesia's intelligence agency (BIN), and in the forced deportation of over 250,000 people from East to West Timor in 1999. Other tainted Widodo supporters include: Former BIN deputy chief retired Major General Muchdi Purwoprandjono who is also accused in the murder of Munir and former Jakarta Military Commander Lieutenant General Sutiyoso, accused of torture in Timor-Leste. A 2007 attempt to question him about the October 1975 murder of five journalist in Balibo, Timor-Leste, caused a diplomatic incident. He was Jakarta military commander when thugs backed by troops and police attacked the headquarters of the Indonesian Democratic Party in 1996. Retired General Ryamizard Ryacudu was "a hardline general known for his xenophobic remarks and criticism of rights activists." As army chief of staff he oversaw the implementation of martial law in Aceh beginning in May 2003.

The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) was founded in 1991. ETAN supports democracy, human rights and justice in Timor-Leste, West Papua and Indonesia. ETAN is non-partisan. It works on issues and does not support candidates or political parties in any country. Website:www.etan.org Twitter: @etan009.
etanetanetanetanetanetan
Rilis Media
Kontak (bahasa Inggris): John M. Miller, ETAN, +1-917-690-4391, john@etan.org
Kontak (bahasa Indonesia): Andrew de Sousa, +66-904241290, a.desousa@focusweb.org

Kelompok-kelompok yang Mendesak Pemerintah Baru Indonesia untuk Mengejar Keadilan dan Menghormati Hak Asasi.

Tanggal 30 Juni 2014
 - Dalam pernyataan yang dikeluarkan hari ini, kelompok pembela hak asasi manusia mendesak pemerintah Indonesia yang baru untuk "segera memutuskan hubungan terhadap masa lalu dan secara serius menyelesaikan warisan pengampunan (impunitas) terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia," dan menambahkan bahwa "kurangnya proses pertanggung-jawaban terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan juga sekarang akan mengancam kemajuan proses demokrasi Indonesia yang sedang berjalan."

Pernyataan ini, dikoordinasi oleh East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan ditanda-tangani oleh 32 lembaga   berasal dari 12 negara, mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk "memenuhi pemulihan para korban dan juga keluarga mereka yang mengalami pelanggaran HAM berat." Dan juga menyerukan kepada pemerintahan yang baru untuk menempatkan institusi militer "agar secara penuh tunduk terhadap kekuasaan sipil dan peraturan-peraturan hukum yang ada.."

Gabungan kelompok ini menuliskan bahwa "Pasukan keamanan Indonesia beroperasi dengan impunitas di propinsi Papua dan Papua Barat," mereka juga menyerukan untuk tahanan politik dibebaskan, menghormati kebebasan berpendapat dan mengakhiri pelarangan akses internasional ke dalam wilayah tersebut."

Kelompok-kelompok ini juga mendesak pemerintahan yang baru untuk membangun "hubungan yang tulus antara rakyat Indonesia dan Timor Leste dengan berkomitmen penuh melaksanakan pengadilan internasional untuk menghukum pelaku kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan pada masa Indonesia menjajah Timor Leste, membuka seluruh arsip-arsip bersejarah yang terkait dengan isu tersebut, termasuk yang ada dalam arsip TNI dan juga pemulihan bagi korban kekerasan pasukan keamanan Indonesia."

"Kami menyadari bahwa salah satu calon presiden telah dinyatakan sebagai pelaku pelanggar hak asasi manusia dan calon lain berkoalisi dengan mantan Jenderal yang telah didakwa sebagai penjahat HAM di Timor-Leste sebagai tim kampanye dirinya," kata koordinator ETAN John M. Miller.

"Akan tetapi, bagi anggota parlemen baru Indonesia dan siapapun yang akan duduk sebagai presiden nantinya mempunyai kewajiban di bawah hukum Indonesia dan juga perjanjian hukum internasional untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pernyataan ini memberikan dan menyediakan ukuran mana yang dapat digunakan untuk mengevaluasi aksi pemerintahan baru terhadap pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia."

Latar Belakang
Pada bulan April, rakyat Indonesia telah memilih anggota parlemen baru mereka. Pada tanggal 9 Juli nanti, mereka akan memilih Presiden yang sedianya akan mulai bekerja pada Oktober 2014. Salah satu dari kandidat tersebut mempunyai catatan hak asasi manusia yang kerap menjadi perdebatan dalam proses kampanye saat ini.

Keterlibatan mantan Jenderal Prabowo Subianto dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste, Jakarta dan beberapa tempat lain pada saat dirinya berkarir di militer. Ia pun telah mengakui keterlibatannya terhadap penculikan aktivis dan rencana kudeta pada tahun 1998.  Baru-baru ini, seorang jurnalis bernama Allan Nairn melaporkan bahwa Prabowo mengatakan "Indonesia belum siap untuk demokrasi," dan pada saat yang sama memuji pemerintahan diktaktor militer Pakistan Jenderal Pervez Musharraf, Prabowo bertanya pada saat itu "Apa saya cukup punya nyali, apa saya siap jika disebut 'diktator fasis'?" Mengacu pada pembunuhan masal Santa Cruz pada tahun 1991 di Timor Leste, Prabowo mengatakan "Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional,... Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibukota provinsi!"

Lawannya Gubernur Jakarta Joko Widodo, tidak pernah bertugas di militer, namun di dalam tim kapanyenya terdapat beberapa mantan Jenderal yang didakwa karena melakukan pelanggaran HAM berat.  Jenderal Wiranto didakwa di Timor Leste karena perannya pada peristiwa kekerasan di sekitar tempat pemungutan suara untuk kemerdekaan di Timor Leste. Jenderal AM Hendropriyono didakwa karena pembunuhan masal masyarakat sipil di Lampung Tengah pada tahun 1989, pembunuhan pengacara hak asasi manusia Munir pada saat dirinya menjabat sebagai kepala BIN, dan dirinya mendeportasi dengan paksa lebih dari 250.000 orang dari Timor Timur ke Timor barat pada tahun 1999. Beberapa pendukung Widodo yang juga kotor adalah: Mantan kepala intelejen, pensiunan jenderal Muchdi Purwoprandjono yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir dan pensiunan Komandan Militer Jakarta Lentan Jenderal Sutiyoso, yang didakwa terhadap kasus penyiksaan di Timor Leste. Pada tahun 2007, upaya untuk menanyakan dirinya tentang kasus pembunuhan jurnalis di Balibo pada tahun 1975 menyebabkan insiden diplomatik. Ketika penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia tahun 1996, Sutiyoso saat itu masih menjabat sebagai komandan militer Jakarta. Pensiunan Jenderal General Ryamizard Ryacudu adalah seorang "seorang jenderal garis keras yang dikenal karena pernyataan xenophobik dan kritikan terhadap aktifis hak asasi manusia." Sebagai kepala staff tentara Indonesia, dirinya pada saat itu mengawasi impelementasi darurat militer di Aceh pada awal tahun 2003.

East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) didirikan pada tahun 1991. ETAN mendukung demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan di Timor Leste, Papua dan Indonesia. ETAN adalah organisasi non-partisan (tidak berpihak). Bekerja akan isu-isu dan tidak mendukung kandidat maupun partai politik dari negara manapun. Situs: www.etan.org Twitter: @etan009.


East Timor & Indonesia Action Network (ETAN) PO Box 21873, Brooklyn, NY 11202-1873
Tel. +1-718-596-7668,
etan@etan.org
www.etan.org          





etan